PANIAI, DEIYAI DAN DOGIYAI: Butuh Anak Muda Yang Siap Tugas Di Kampung-Kampung
Di tengah realitas akan adanya banyak persoalan di Papua seringkali
membuat orang lupa menyadari dan melihat akar-akar kehidupan di kampung
halamannya sendiri. Kampung semakin dilupakan pasca adanya arus
pembangunan dan modernisasi. Entah benar atau tidak, pemekaran wilayah
menjadi sebuah kabupaten tentu didasarkan atas ketersediaan Sumber Daya
Manusia mulai dari kabupaten hingga kampung. Demikian pula, pemekaran
kabupaten di wilayah Meuwoo menjadi 3 kabupaten, yakni Paniai,
Deiyai dan Dogiyai. Namun, ironisnya, Sumber Daya Manusia atau
katakanlah orang yang berpendidikan (formal) semakin sentralistik di
pusat kota kabupaten; sementara distrik dan kampung-kampung semakin
dilupakan.
Lancarnya transportasi membuat masyarakat termasuk kaum terpelajar lebih berorientasi di kota. Ramainya suasana kota yang dibekap dengan jaringan telkomsel membuat orang dari berbagai kalangan memilih lebih lama tinggal atau bertugas di kota. Transaksi jual beli dan peredaran uang semakin di kota. Kaum terpelajar merasa bahwa kemudahan mendapatkan pekerjaan alias menjadi PNS akan memungkinkan apabila ia memilih tinggal di kota. Singkat kata, kebanyakan orang merasa bahwa segala kemudahan akan diperoleh di kota daripada di kampung; sementara kampung dianggap tidak ada sumber kehidupan.
Kampung-kampung yang semakin dilupakan ini membuat akar basis ekonomi di kampung tercabut-cabut. Basis-basis pendidikan formal maupun informal yang mengantar anak-anak untuk terus bertumbuh dan berkembang dianggap bukan sesuatu penting. Kelayakan hidup keluarga yang dibarengi dengan kemandirian keluarga dalam hal kesehatan keluarga, kebersihan rumah, kebersihan lingkungan dan kesejahteraan yang semestinya dibangun dalam keluarga semakin dilupakan akibat terbangunnya kebiasaan-kebiasaan yang bersifat konsumtif. Uang dilihat bukan sebagai sarana pemandirian keluarga untuk terus bertumbuh dan berkembang, tetapi justru menyebabkan semua akar kehidupan di kampung tercabut.
Fenomena baru yang mengantar orang sampai pada anggapan bahwa kota sebagai pusat pemenuhan segala kebutuhan ini merupakan suatu tantangan bagi generasi muda masa sekarang dan akan datang. Namun, kiranya perlu disadari bahwa ditengah realitas seperti ini tidak dibutuhkan sebuah forum diskusi alias mengemukakan pendapat atau berdebat, tetapi dibutuhkan tindakan ril untuk kembali menanam semua akar kehidupan yang telah tercabut-cabut. Tindakan riil yang dimaksudkan tentu dimulai dari masing-masing pribadi terutama generasi sekarang.
Misalnya; ketika berbicara soal macetnya sekolah-sekolah di kampung, apakah generasi muda bersedia menjadi guru di kampung? Ketika berbicara soal kesehatan yang terpuruk, apakah kita bisa berperan entah tindakan penyelamatan atau memberi pemahaman mengenai kesehatan? Ketika berbicara soal kebun-kebun yang kini kelihatan rumput tinggi, apakah bersedia kembali ke kampung untuk membangun basis-basis ekonomi? Ketika berbicara soal identitas dan budaya, apakah generasi muda bersedia duduk dengan para orang tua di Emawaa/Yamewaa? Demikian pula, berbagai aspek lainnya.
Beberapa pertanyaan tersebut diatas diungkapkan seiring berjalannya waktu yang mengantar manusia pada bergantinya generasi. Ketika semangat pengabdian orang tua (generasi lalu) menurun alias usia mulai senja, tentu generasi muda menjadi estafet atas karya para orang tua. Kini saatnya generasi muda dituntut berperan aktif mulai dari kabupaten hingga di kampung-kampung. Namun, jikalau generasi mudapun memilih bertahan hidup di kota “lebih baik tugas di kota”, maka tentu keprihatinan tadi akan tetap menjadi persoalan entah kapanpun. Hal ini dikatakan demikian karena orang tidak mau menjadi guru yang sedia dengan tugasnya di kampung. Orang tidak mau menjadi perawat yang jatuh bangun melayani masyarakat di kampung. Orang tidak mau sungguh-sungguh membangun basis ekonomi di kampung.
Jika demikian, maka pertanyaannya; tunggu siapa lagi? Apakah orang Mee harus tunggu suku lain untuk datang membangun di kampung-kampung Meuwo? Apakah orang Mee harus tunggu orang non Papua untuk bertugas di kampung-kampung? Kiranya hal itu tentulah sangat tidak mungkin.
Suku-suku lain di Papua tentu merekapun memikirkan bagaimana mereka membangun daerahnya. Demikian pula, orang non Papua sangat tidak mungkin bersedia bertugas di kampung-kampung. Dengan demikian, tentu orang Mee sendiri yang harus bangun kampung-kampung di daerah Meuwoo (Paniai, Deiyai dan Dogiyai). Namun, jikalau generasi muda Mee sendiri juga melupakan atau bahkan tidak mau bertugas di kampung-kampung, maka siapakah yang akan membangun kampung-kampung di daerah Meuwoo? Semua ungkapan keprihatinan hanya merupakan suatu retorika di forum media dan kita tidak bisa melemparkan ketidaksediaan kita menjadi kesalahan orang atau pihak lain. Pemerintah Pusat telah memberikan semua kewenangan ke Pemerintah Daerah sehingga seringkali muncul istilah prioritaskan putra daerah. Kini tinggal bagaimana diatur regulasinya di tingkat daerah bersama putra-putri daerah tadi. Akhirnya kembali pada pertanyaan pokok bahwa; bersediakah generasi muda bertugas di kampung dan menjadi agen perubahan di kampung?
Oleh: Marko O. Pekei
Sumber: facebook.com
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !