SUARAPAPUA.COM, TOLIKARA --- Presiden Gereja Injili di Indonesia, Pdt.
Dorman Wandikmbo, dari Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua, mengirimkan
delapan (8) point pernyataan sikap Gereja, terkait insiden/peristiwa,
yang terjadi kemarin, 17 Juli 2015, di Tolikara.
Kepada suarapapua.com, Pdt.
Dorman mengatakan, pemuda gereja tidak melarang, bahkan melakukan
pembakaran terhadap Mushola, namun hanya ingin mempertanyakan ketegasan
aparat TNI/Polri terkait kesepakatan bersama yang pernah dilangsungkan
beberapa waktu lalu, namun sudah keburu alat negara (senjata) digunakan
untuk menembak 12 pemuda gereja.
"Jadi saya mau tegaskan tidak benar masyarakat Tolikara, atau warga
gereja GIDI melakukan pembakaran terhadap Mushola (seperti pemberitaan
berbagai media massa di tingkat nasional), namun hanya beberapa kios
yang dibakar pemuda, dan merembet hingga membakar Musolah karena
dibangun menggunakan kayu, dan berhimpit-himpit dengan kios/rumah milik
warga Papua maupun non-Papua, sehingga dengan cepat melebar dan
terbakar."
"Tindakan spontan yang dilakukan beberapa pemuda membakar beberapa
kios ini muncul karena ulah aparat keamanan yang tak bisa menggunakan
pendekatan persuasive, tapi menggunakan alat-alat Negara (senjata dan
peluru) untuk melumpuhkan para pemuda tersebut. Kami minta Kepala
Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dan Panglima TNI untuk juga
mengusut tuntas penembakan warga sipil oleh aparat keamanan yang
menyebabkan 1 orang meninggal dunia (Endi Wanimbo, usia 15 tahun), dan
11 orang terluka," kata Dorman.
Adapun delapan point pernyataan sikap yang dikirimkan, yakni;
PERNYATAAN SIKAP PRESIDEN GEREJA INJILI DI INDONESIA (GIDI), TERKAIT INSIDEN/PERISTIWA DI KABUPATEN TOLIKARA, PROVINSI PAPUA
Sejak tadi malam, 17 Juli 2015, saya mengikuti berbagai pemberitaan
di media massa yang terkesan menyudutkan pihak gereja, ditulis
berdasarkan laporan/argumentas aparat keamanan (TNI/Polri), serta
penyebaran berbagai surat kaleng/palsu di media social (Medsos), yang
menempatkan orang Papua sebagai pihak yang anti toleransi umat beragama,
maka dalam kesempatan ini saya perlu menegaskan atau menyampaikan
beberapa hal agar dapat dipahami oleh seluruh warga Indonesia;
Pertama, tidak benar pemuda gereja GIDI,
masyarakat Tolikara, dan Umat Kristiani melarang umat Islam untuk
merayakan hari raya Idul Fitri (Sholat ied), namun harus mematuhi surat
pemberitahuaan yang telah dilayangkan pemuda/gereja dua minggu sebelum
kegiatan dilangsungkan; yakni tidak menggunakan penggeras suara (toa),
apalagi jarak antar pengeras suara dengan tempat dilangsungkannya
seminar nasional/internasional hanya berjarak sekitar 250meter. (baca juga kronologi singkat yang dikirimka Presiden GIDI).
Kedua, pimpinan gereja wilayah Kabupaten
Tolikara, Presiden GIDI, Bupati Kabupaten Tolikara, Usman Wanimbo, dan
tokoh masyarakat setempat telah menyampaikan maksud pemuda GIDI (Ibadah
tidak menggunakan penggeras suara) sejak dua minggu sebelum hari “H”
kegiatan seminar, dan hari raya idul fitri; Kami menilai, aparat
Kepolisian dan aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Kabupaten
Tolikara tidak punya itikad baik untuk menjaga keamanan dan ketertibatan
masyarakat Tolikara, termasuk umat Muslim sendiri. Kami sangat
menyayangkan lambannya sosialisasi yang dilakukan aparat keamanan kepada
warga muslim, sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan,
apalagi toleransi umat beragama sejak puluhan tahun lalu di Tolikara,
dan secara umum di seluruh tanah Papua sangat baik, dan paling baik di
Indonesia.
Ketiga, yang sangat disayangkan, para
pemuda (11 orang tertambak timah panas aparat TNI/Polri saat dalam
perjalanan ke Musolah untuk berdiskusi dengan warga setempat, 1 anak
usia 15 tahun meninggal dunia, Endi Wanimbo, usia 15 tahun), belum
sempat diskusi atau negosiasi dilangsungkan, aparat TNI/Polri sudah
mengeluarkan tembakan secara brutal dan membabi buta, sehingga 12 orang
tertembak. Jadi amukan dan kemarahan masyarakat bukan disebabkan oleh
aktivitas ibadah umat muslim, tapi lebih karena tindakan dan perlakukan
biadab aparat TNI/Polri, yang tidak membukan ruang demokrasi atau untuk
mendiskusikan hal-hal yang baik bagi keberlangsungan ibadah kedua belah
pihak.
Keempat, tidak benar masyarakat Tolikara,
atau warga gereja GIDI melakukan pembakaran terhadap Mushola (seperti
pemberitaan berbagai media massa di tingkat nasional), namun hanya
beberapa kios yang dibakar pemuda, dan merembet hingga membakar Musolah
karena dibangun menggunakan kayu, dan berhimpit-himpit dengan kios/rumah
milik warga Papua maupun non-Papua, sehingga dengan cepat melebar dan
terbakar; Tindakan spontan yang dilakukan beberapa pemuda membakar
beberapa kios ini muncul karena ulah aparat keamanan yang tak bisa
menggunakan pendekatan persuasive, tapi menggunakan alat-alat Negara
(senjata dan peluru) untuk melumpuhkan para pemuda tersebut. Kami minta
Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dan Panglima TNI untuk
juga mengusut tuntas penembakan warga sipil oleh aparat keamanan yang
menyebabkan 1 orang meninggal dunia (Endi Wanimbo, usia 15 tahun), dan
11 orang terluka.
Kelima, saya sebagai pimpinan tertinggi
gereja GIDI di seluruh Indonesia, telah menasehati umat saya agar tidak
melarang umat apapun, termasuk saudara Muslim untuk melangsungkan
ibadah, namun ibadah harus dilangsungkan di dalam koridor hukum wilayah
tersebut, dan juga mematuhi surat atau himbauan yang dikeluarkan, demi
keamanan, ketertibatan, dan ketentraman masyarakat setempat.
Keenam, yang datang mengikuti
ibadah/seminar internasional di Kabupaten Tolikara bukan hanya warga
GIDI di wilayah tanah Papua, tapi dari berbagai provinsi di seluruh
Indonesia, antara lain pemuda dari Nias, Sumatera Utara, Papua Barat,
Kalimantan (Dayak), Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan diperkikran
mencapai 2.000 orang pemuda GIDI.
Ketujuh, sebagai presiden GIDI, kami
menyampaikan permohonan maaf kepada warga muslim di Indonesia, secara
khusus di Kabupaten Tolikara atas pembakaran kios-kios yang menyebabkan
Musolah (rumah ibadah warga muslim) ikut terbakar; Aksi ini merupakan
spontanitas masyarakat Tolikara karena ulah aparat keamanan di Tolikara
yang melakukan penembakan secara brutal.
Kedelapan, Kapolri dan Panglima TNI juga
harus mengusut tuntas insiden penembakan terhadap 12 warga gereja, yang
menyebabkan satu anak usia sekolah meninggal dunia; Ini merupakan
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat, karena menggunakan alat
Negara untuk menghadapi pemuda-pemuda usia sekolah yang tak datang untuk
melakukan perlawanan atau peperangan.
Demikian pernyataan sikap ini dibuat untuk disebarluaskan kepada
berbagai jaringan di tingkat lokal, nasional, dan internasional,
terutama media massa, agar pemberitaan terkait insiden/peristiwa yang
tidak kita inginkan ini dapat berimbang. Tuhan memberkati kita semua.
Presiden GIDI
Pdt. Dorman Wandikmbo
(HP: 081248604070);
Nb: Jika Pdt. Dorman susah dihubungi, bisa lewat Ketua Pemuda GIDI 081344354689).
OKTOVIANUS POGAU
FOTO-FOTO KORBAN
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !