Fic/Facebook/Nesta |
Nama "Malayu" berasal dari Kerajaan Malayu yang pernah ada di kawasan Sungai Batang Hari. Dalam perkembangannya,
Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi bawahan Kerajaan
Sriwijaya.[10] Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar
Sumatera, mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga
ke Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya. Jadi orang Melayu
Semenanjung berasal dari Sumatera.[11]
Berdasarkan prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah berdagang ke seluruh wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat budaya dan Bahasa Melayu pada kawasan tersebut. Bahasa Melayu akhirnya menjadi lingua franca menggantikan Bahasa Sanskerta. Era kejayaan Sriwijaya merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk pada masa wangsa Sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaanDharmasraya sampai pada abad ke-14, dan terus berkembang pada masa Kesultanan Malaka sebelum kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan tentara Portugis pada tahun 1511.
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah Kesultanan Johor,Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, dan Kesultanan Siak. Kedatangan kolonialis Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang Melayu ke seluruh Nusantara, Sri Lanka, dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi syahbandar, ulama, dan hakim.
Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia, Malaysia, dan Brune
Ratusan tahun silam, Indonesia, Malaya, Temasek (Singapura), Filipina, Thailand, Burma (MYanmar), Vietnam, Kambodia, sampai Madagaskar dan Hawaii dikenal sebagai bangsa serumpun Melayu-Polinesia.
Melayu Raya
Bahkan, dahulu para tokoh, intelektual, dan pejuang dari negeri-negeri
itu mencanangkan satu negara bernama “Melayu Raya”. Pada 1879, Parlemen
Hawaii di Honolulu membahas kemungkinan penyatuan Dunia
Melayu-Polinesia. Sepuluh tahun kemudian, Apolinario Mabini di Manila
mengumumkan “Federation Malaya”.
Pada 1932, tokoh mahasiswa
University of Philippine bernama Wenceslao Q. Vinsons berorasi di
kampusnya bahwa dirinya memimpikan kesatuan semua bangsa
Melayu-Polinesia yang tergabung dalam Negara Melayu Raya. Vinsons
meneruskan cita-cita pendahulunya, pencetus revolusi Filipina Jose Rizal
(1861-1896) yang terkenal dengan novelnya –Noli Me Tangere itu. Dalam
tahun yang sama, pemuda Muhammad Yamin di Jakarta juga mengemukakan
obsesinya tentang “Melayu Raya” atau “Indonesia Raya”.
Gagasan
“Melayu Raya” terungkap lagi ketika Indonesia-Filipina-Malaysia
berencana mendirikan Maphilindo, singkatan dari
Malaysia-Philipina-Indonesia di Manila pada 1963. Para presiden dari
ketiga negara tersebut mengumumkan Deklarasi Manila yang menggabungkan
negara mereka ke dalam Maphilindo.
Dalam pidato penutupan,
Presiden Filipina Macapagal mengajak hadirin untuk mengenang kembali
mimpi para nasionalis Filipina mulai Jose Rizal, Presiden Manuel Quezon,
Wenceslao Vinzons, sampai Presiden Elpidio Quirino untuk menyatukan
bangsa-bangsa Melayu. Macapagal menyebut Presiden Indonesia Soekarno dan
Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman sebagai “two of the
greatest sons of the Malay race“.
Memudarnya Melayu Raya
Maphilindo tidak terwujud, justru berubah menjadi konfrontasi antara
Indonesia dan Malaysia setelah Bung Karno mengumandangkan “Dwikora” yang
pada pokoknya menyatakan bahwa Malaysia adalah proyek imperialis oleh
karena itu harus di-ganyang. Apa alasan sesungguhnya di balik
konfrontasi tersebut, masih merupakan misteri. Sebab, bersamaan dengan
itu, kalangan TNI-AD di antaranya Ali Moertopo mengupayakan
dihentikannya konfrontasi dengan Malaysia. Hubungan dua negara tetangga
ini pada gilirannya mencair kembali.
Dampak konfrontasi yang
dicanangkan Bung Karno itu ialah memudarnya cita-cita Melayu Raya,
bahkan sudah tidak ada lagi tokoh-tokoh Indonesia, Malaysia, Filipina,
Thailand, Singapura, Myanmar, Vietnam, Kambodia, dan Madagaskar yang
mengungkit-ungkit sentimen Melayu. Masing-masing sibuk dengan persoalan
negara dan masyarakat masing-masing.
Khusus bagi pemerintah dan
rakyat Indonesia, boleh dikatakan nyaris melupakan ke-Melayu-annya
karena sedang berproses menjadi Indonesia. Meskipun mayoritas secara
kultural rakyat Indonesia tergolong ras Melayu-Polinesia. Hanya Papua
yang mayoritas ras Melanesia, sedangkan Maluku dan pulau-pulau di Nusa
Tenggara masih banyak yang Melayu kendati sudah meninggalkan
ke-Melayu-annya.
Pewaris Melayu
Begitu Indonesia, begitu
pula Filipina, Singapura, Thailand, Kambodia, Burma, Hawaii, dan
Madagaskar. Terbentuknya Malaysia pada 1963 –sebelumnya mulai 1957
bernama Persekutuan Negara-Negara Melayu– menganggap diri sebagai
pewaris sah kebudayaan Melayu. Nama “Malaysia” sudah lama digunakan
tokoh dan pejuang yang mencita-citakan berdirinya Melayu Raya sehingga
Malaysia merasa berhak atas Melayu.
Padahal, pada abad ke-7
masehi, di Jambi (Indonesia) telah berdiri Kerajaan Melayu yang pada
tahun 700 M ditaklukkan oleh Sriwijaya, namun bangkit kembali setelah
Sriwijaya ambruk pada abad ke-12. Bahasa Melayu yang kemudian menjadi
inti bahasa Indonesia dan bahasa resmi Malaysia bersumber di Riau. Siapa
pewaris sejati Melayu?
Penulis: Nesta Ones Suhuniap
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !